DILEMA PENDIDIKAN KITA

Posted November 7, 2008 by Eni Maryani
Categories: Uncategorized

Oleh: Suwandi Sumartias

(Mahasiswa S3 Komunikasi Pascasarjana dan Staf Pengajar Fikom Unpad)

Tentunya ungkapan di atas bisa jadi merupakan suatu kepedulian beliau atas kondisi pendidikan di Bumi Nusantara ini yang semakin hari semakin terjadi polarisasi oleh kepentingan elit-elit birokrasi pendidikan yang lebih mengedepankan “kepentingan materi” dengan alasan otonomi pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan merambah mulai tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Sehingga “Ketuhanan Yang Maha… ” diplesetkan menjadi “ Keuangan Yang Maha….”. Otonomi pendidikan beralih maka dan orientasi, sehingga muncul wacana “bagaimana menyedot dana masyarakat sebesar-besarnya dan sepintar-pintarnya” yang diperuntukan bagi kelancaran pelaksanaan pendidikan, karena berbagai alasan, antara lain, subsidi pemerintah untuk pendidikan sangat minim, bahkan anggaran pendidikan sebesar 20 % ( sebagai amanat UU Sisdiknas) yang dialokasikan dari APBN tak kunjung tiba, bahkan turunnya pun bertahap dicicil sampai 2009. Belum lagi persoalan makro sistem manajemen pendidikan nasional yang sampai saat ini menyisakan berbagai persoalan mendasar, mulai dari kurikulum bahan ajar, penyediaan bahan ajar, buku-buku yang mahal, kualitas SDM/(uji kompetensi guru, pengelola pendidikan, Upah guru yang rendah ( bahkan maih banyak yang di bawah Ketentuan Upah Minimum Pekerja, ini terjadi mulai dari jabatan guru sekolah dasar sampai profesor di perguruan tinggi), dan lain sebagainya.

Dari realitas di atas, jika dicermati dari pernyataan bahwa “SPMB untuk yang tak mampu” sungguh tak memiliki korelasi//hubungan sama sekali dan juga pernyataan di atas, memiliki makna yang tendensius keberpihakan, sekaligus pembenaran bahwa pendidikan itu mahal dan diperuntukan bagi yang “berduit” saja, dan jalur SPMB merupakan kumpulan orang-orang yang tidak mampu, kendati tak ada peraturan tegas dan jelas di dalam pedoman SPMB.

Di lain pihak pernyataan tersebut memungkinkan terjadinya pengingkaran dan penihilan tujuan dan makna SPMB, yang selama ini menjadi kebanggaan para mahasiswa yang telah merasa lolos saringan yang sangat ketat, artinya jalur ini merupakan “pintu utama” masuk yang dianggap masyarakat “sungguh bergengsi”. Sejarah penerimaaan mulai dari SKALU, Proyek Perintis, UMPTN sampai SPMB merupakan jalur seleksi yang melahirkan orang-orang pilihan dan berkualitas, dan tidak harus dibandingkan dengan jalur” basah” yang lebih mengedepankan kepentingan “ materi” yang dikemas “idealisme pendidikan”, padahal akan melahirkan generasi instant dan pragmatis.

Dan perlu difahami bahwa SPMB selama ini diikuti tidak hanya oleh calon mahasiswa dengan ekonomi pas-pasan dan cerdas, juga oleh para calon mahasiswa yang sejak SD sampai SLTA ikut bimbingan belajar dan tentu dari golongan ekonomi “kuat”, dan hal ini syah-syah saja sebagai arena kompetisi yang sangat “fair” dan signifikan, sehingga jika ada pendapat SPMB untuk jalur yang tak mampu, sungguh merupakan pembiasan makna, bahkan diskriminatif.

Dan sebaliknya jika jalur “basah” melalui seleksi mandiri perguruan tinggi hanya mengedepankan kekuatan “modal” orang tua calon mahasiswa, dan mengurangi standar kualitas saringan, sama halnya dengan menyiapkan generasi berikut yang kurang siap untuk berkompetisi tingkat nasional dan global, bahkan tidak mentup kemungkinan akan lahir generasi yang permisif, hedonis, pragmatis, yang secara etika, moral dan sosial rapuh, sehingga keterpurukan bangsa yang multi dimensi ini semakin parah, dan sayangnya fenomena ini sengaja diciptakan lewat lembaga pendidikan formal dan elit birokrasinya.

Alternatif Solusi

Dari semua persoalan yang menimpa dunia pendidikan kita, kuncinya berada pada sejauhmana kesungguhan dan komitmen para elit pemerintah dan atau birokrasi pendidikan mulai dari pusat sampai daerah untuk menyadari bahwa penyelenggaraan pendidikan yang profesional, berkualitas, kompetitif dan prospektif bagi perbaikan bangsa ini. Bukan hanya wacana dan tertera di atas kertas semata, tapi mulailah dengan gerakan nyata yang terencana dengan baik, sistematis, evaluatif, akuntabilitas dan transparan. Persoalan yang muncul diseputar SPMB, Seleksi Jalur mandiri dan UN (Ujian Nasional) merupakan persoalan yang berada pada effect problem, akar masalahnya (Caused Problem) belum dipecahkan bersama, karena orientasi dan hakekat penyelenggaran pendidikan campurbaur dengan persoalan-persoalan teknis operasional yang rentan dengan kepentingan sesaat, baik orientasi menumpuk materi/kekayaan maupun kekuasaan yang didukung mental ABS (Asal Bapak Senang) dengan topeng-topeng kepalsuan, hipokrit dari segelintir penyelenggara pendidikan (birokrat) yang didukung kelemahan elit legislatif dan yudikatif, terutama pada kepastian dan penegakan hukum/peraturan pendidikan. Pada tataran makro/nasional, upaya solusi yang perlu dipikirkan bersama adalah

Pertama, bersihkan dan tegakan kepastian hukum bagi penyelenggara pendidikan yang menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan; Kedua, benahi birokrasi pendidikan yang tidak efisien dan efektif, termasuk dalam urusan naik pangkat, golongan, jabatan yang selama ini rentan dengan KKN; Ketiga, memperjelas prioritas perbaikan orientasi sistem penyelenggaran pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (al., sistem kurikulum dan bahan ajar, standar kompetensi pengajar, pengelola, ruang penggajian, metode PBM, teknologi pendidikan, serta standar kualitas lulusan, dan lain sebagainya); Keempat, memilih dan menempatkan para pengelola birokrasi pendidikan secara profesional, bijak dan transparan serta memiliki komitmen pada reformasi pendidikan; Kelima, sesuaikan kebijakan nasional bidang pendidikan dengan situasi lokal secara bertahap; Keenam, membuka dan mendorong peluang bagi masyarakat agar menyadari bahwa pendidikan merupakan aset dan investasi yang sangat penting untuk perbaikan bangsa ini, bukan kampanye mahalnya pendidikan, karena realitas menunjukkan masih banyak warga yang belum mengenyam pendidikan dasar dan lanjutan, apalagi pendidikan tinggi.

Jika persoalan-persoalan mendasar di atas tidak disadari secara mendalam dan bersungguh-sungguh oleh elit birokrasi di semua lini kelembagaan bidang pendidkan maupun lintas lembaga, maka persoalan-persoalan pendidikan di tingkat permukaan (effect), selalu muncul dan menjadi wacana media dan masyarakat yang tak berkesudahan.

Kampus Fikom Unpad, 11 Juli 2006

Penulis,

Suwandi Sumartias

Hello world!

Posted November 6, 2008 by Eni Maryani
Categories: Uncategorized

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!